
Microlotmusic – Vidi Aldiano. Kasus hukum yang menimpa penyanyi Vidi Aldiano menjadi perbincangan hangat di dunia hiburan dan hukum. Musisi yang dikenal lewat lagu Nuansa Bening kini harus menghadapi gugatan sebesar Rp 24,5 miliar dari dua pencipta lagu tersebut, Keenan Nasution dan Rudi Pekerti. Tak hanya soal uang, kasus ini menyentil isu mendasar: izin tertulis dalam penggunaan karya cipta.
Awal Mula Masalah
Vidi Aldiano merilis Nuansa Bening sebagai lagu debutnya di tahun 2008. Lagu ini sukses besar dan membantu mengangkat namanya ke jajaran penyanyi muda berbakat Indonesia. Namun, ada satu hal krusial yang terlewat: pencantuman nama pencipta asli lagu. Di album tersebut, justru tertulis “VA Records” sebagai pemegang hak cipta. Inilah yang kemudian menjadi sumber masalah hukum.
Keenan dan Rudi merasa hak mereka sebagai pencipta lagu diabaikan. Terlebih lagi, lagu tersebut dibawakan Vidi dalam ratusan pertunjukan tanpa adanya perjanjian tertulis yang jelas mengenai izin, royalti, maupun atribusi nama.
Tuntutan Fantastis: Rp 24,5 Miliar
Kedua pencipta menggugat Vidi dengan total 31 dugaan pelanggaran atas hak cipta sejak 2009 hingga 2024. Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta No. 28 Tahun 2014, setiap pelanggaran bisa dikenakan denda maksimal Rp 500 juta. Maka tak heran jika angka total yang dituntut bisa menembus Rp 24,5 miliar.
Tak hanya itu, mereka juga mengajukan permintaan penyitaan rumah Vidi di kawasan Cilandak sebagai jaminan untuk memastikan pembayaran dapat dilakukan bila gugatan dikabulkan.
Izin Lisan Tidak Cukup
Yang memperkeruh suasana adalah pernyataan bahwa ayah Vidi, Harry Kiss, sempat meminta izin secara lisan kepada Keenan. Namun dalam pandangan hukum, ini dianggap lemah.
Menurut Dr. Yoan Nursari Simanjuntak, pakar hukum dari Universitas Surabaya, dalam konteks komersial, izin lisan tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat. Perlu ada perjanjian tertulis yang merinci hak dan kewajiban kedua pihak, termasuk soal pembagian royalti, jangka waktu izin, hingga bentuk penggunaan lagu.
Vidi Tidak Hadir di Sidang
Sidang pertama kasus ini sempat diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun Vidi dan kuasa hukumnya tidak hadir. Ketidakhadiran ini bisa berdampak buruk karena memperlemah posisi pembelaan, dan membuka peluang bagi hakim untuk memutuskan perkara lebih cepat berdasarkan bukti dari pihak penggugat.
Pelajaran Besar untuk Industri Musik
Kasus ini bukan hanya tentang satu musisi dan dua pencipta lagu. Ini adalah peringatan keras bagi seluruh pelaku industri musik: jangan pernah meremehkan pentingnya administrasi hak cipta.
Banyak musisi pemula yang tergiur oleh kesuksesan instan tanpa memperhatikan aspek legalitas lagu yang mereka bawakan. Apalagi di era digital saat ini, di mana satu lagu bisa diputar jutaan kali, royalti bisa bernilai sangat besar.
Perlunya Edukasi Hak Cipta
Sayangnya, masih banyak yang menganggap bahwa “izin lisan” atau “izin teman” sudah cukup. Padahal, tanpa dokumen tertulis, tidak ada kepastian hukum. Ini bisa menjerat siapa saja, bahkan musisi sekelas Vidi Aldiano.
Lebih jauh, pencipta lagu juga perlu aktif melindungi haknya. Jangan ragu meminta kontrak, mencantumkan nama secara resmi, dan bahkan memantau penggunaan lagunya secara publik. Karena selain hak ekonomi, ada hak moral yang melekat pada setiap karya cipta.
Kasus Vidi Aldiano bisa menjadi titik balik kesadaran akan pentingnya legalitas dalam industri musik. Izin tertulis bukan hanya formalitas, tapi bentuk perlindungan yang sah bagi semua pihak. Bila diabaikan, risikonya bukan hanya konflik, tapi juga kerugian miliaran rupiah, reputasi yang tercoreng, bahkan aset pribadi yang terancam disita. Semoga dari kasus ini, industri musik Indonesia semakin sadar dan siap menjalani praktik yang lebih profesional dan menghargai setiap karya cipta.